Sabtu, 22 September 2012
DISIPLIN TANPA KEKERASAN
Suasana belajar di sekolah yang menyenangkan dapat meningkatkan prestasi anak,
yang pada ujungnya meningkatkan mutu pendidikan. Suasana yang dibutuhkan
supaya anak merasa nyaman bukanlah melulu karena gedung yang mentereng
dan peralatan yang nomor wahid. Sekolah apa saja dengan suasana yang
memberikan kesempatan bagi anak untuk mengemukakan pendapat dan
menghormati orang lain untuk mengemukakan pendapat yang berbeda dengan
dirinya memberikan lingkungan yang sangat kondusif bagi kesuksesan
siswa. Siswa tidak perlu khawatir untuk ditertawakan, dipermalukan atau
dihukum atas perbuatan mereka.
Temuan dari berbagai survey menyatakan alasan anak merasa senang di
sekolah karena sbb:
- guru tersenyum ketika anak masuk kelas
- siswa merasa dapat berteman dengan gurunya
- guru ramah dan mau mendengarkan apa yang dikatakan siswa
- siswa merasa dilindungi guru
- siswa merasa gurunya idola dan panutannya
- siswa yakin gurunya memperhatikan dengan cara mendengar,melayani,
menerima dengan penuh kasih sayang.
Nah, sudahkah kita melakukan upaya terbaik agar anak merasa senang
berada di sekolah? Apakah hal-hal diatas cenderung jauh sulit kita
lakukan sebagai pendidik karena kita sudah terlalu pusing dengan
kepentingan-kepentingan sekolah: bahan ajar yang harus diselesaikan,
ujian nasional, dan lain-lainnya?
Banyak dari kita merasa, menjewer anak merupakan tindakan biasa untuk
mendisiplinkan anak. Sadarkah kita bahwa, tindakan fisik sesederhana
menjewer saja bisa dikategorikan sebagai tindak kekerasan pada anak?
*Apa itu kekerasan pada anak?*
Menurut WHO, perlakuan salah pada anak (child maltreatment) adalah
“/Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional,
penganiyayaan seksual, penelantaran atau ekspoitasi secara komersial
atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial
terhadap perkembangan, kesehatan dan kelangsungan hidup anak ataupun
martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan
atau kekuasaan./”
Pengertian lain menurut Hay,1997 penyalahgunaan anak (child abuse)
adalah:“ /Prilaku orang tua/wali , pengasuh, guru, orang dewasa lainnya
yang salah yang menyebabkan luka/bahaya/resiko *psikis/batin* pada anak/ “.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dan sejak
tahun 2002 pun sudah memiliki UU Perlindungan Anak. Secara garis besar
kita layak memberikan hak hidup, hak kelangsungan hidup dan kesempatan
tumbuh kembang yang optimal bagi anak, mengedepankan kepentingan terbaik
pada anak, serta menghargai pendapat anak dengan mendorong partisipasi
anak. Dengan adanya peraturan itu, segenap rakyat Indonesia diamanatkan
untuk memenuhi hak anak dan memastikan bahwa anak terhindar dari
berbagai bentuk kekerasan.
Jenis-jenis kekerasan pada anak adalah antara lain:
1. kekerasan fisik
contoh : memukul, mengguncang-guncang anak dengan keras, mencekik,
menggigit, menendang, meracuni, menyundut anak dengan rokok,dll
2. kekerasan seksual
yaitu hal-hal yang dilakukan untuk tujuan seksual bagi orang yang lebih
tua usianya dari anak
contoh : memaparkan (expose) anak pada kegiatan/prilaku seksual,
memegang/meraba anak atau mengundang anak untuk melakukannya, termasuk
penggunaan anak dalam gambar/tulisan/film porno
3. kekerasan secara emosional
mencakup serangan terhadap perasaan dan harga diri anak.
Contoh : mempermalukan, menghina, menolak anak, mengatakan anak “malas”,
“nakal”, menghardik, menyumpahi,dll.
4. penelantaran anak
adalah jika orang tua/wali/pengasuh/orang dewasa tidak menyediakan
kebutuhan mendasar bagi anak untuk dapat berkembang emosi, psikologis,
dan fisiknya secara normal.
Contoh : anak tidak diberi makan, pakaian, tempat berteduh, pengobatan,
perlindungan standar yang diperlukan anak.
*Disiplin = menghukum anak?*
Sebagai guru atau orang tua, jika anak duduk manis dan patuh rasanya
hidup kita jadi lebih mudah. Namun tentunya itu tidak selalu bisa
terjadi, apalagi dalam suasana kelas yang berisikan 40 siswa. Ditambah
lagi dengan masalah pribadi, guru seringkali jengkel menghadapi prilaku
murid sehingga melakukan praktek kekerasan dari sekedar memarahi,
mencaci maki, menjewer, mencubit, memukul atau memberikan hukuman
lainnya seperti membersihkan WC sekolah, berdiri dengan satu kaki, dll.
Pertanyaannya adalah apakah dengan perlakuan demikian sedemikian
perlunya diterapkan ? Apakah tindakan ini membantu siswa dapat belajar
secara optimal?
Ada pepatah lama dalam budaya kita yang mengatakan, “ Diujung rotan ada
emas” yang hingga kini masih diyakini sebagai landasan mendisplinkan
anak dengan tedeng aling-aling demi kebaikan anak sendiri. Memang
tingkat keberhasilannya dirasakan dengan disiplin yang keras, anak
menjadi penurut. Namun apakah hasil yang demikian adalah hasil yang terbaik?
Jalan untuk menegakkan disipilin tidaklah selalu melalui hukuman dengan
cara kekerasan, seperti pukulan, jeweran, kata-kata keras (bentakan)
atau cara-cara lain yang membuat anak takut dengan maksud membuat anak
takut untuk melanggar aturan yang ditetapkan. Upaya seperti ini lebih
bersifat reaktif dan merendahkan harga diri anak, bukan korektif dan
membimbing. Alih-alih menerapkan disiplin untuk membuat anak menjadi
lebih baik, tindakan disiplin diterapkan untuk guru yaitu supaya guru
dapat mengajar dengan tenang, supaya siswa tertib dan patuh.
*Mengapa menghukum anak?*
Dalih untuk penerapan hukuman adalah biasanya karena anak nakal. Tapi
tunggu dulu, sebelum menjuluki anak dengan predikat “berprilaku salah”
atau “nakal”, kita sebaiknya memulai dengan pertanyaan : “SALAH menurut
siapa?” Seringkali orang dewasa menetapkan standar yang terlalu tinggi
pada prilaku anak. Sebagai contoh : seorang siswa kelas 1 sd yang
berusia 6 tahun dihukum menulis 5 baris karena datang terlambat. Bagi
orang dewasa menulis 5 baris dapat dilakukan dengan mudah kurang dari 5
menit. Tapi bagi anak usia 6 tahun, hukuman itu benar-benar berat dan
tak seimbang dengan kesalahan yang dibuatnya.
Sebelum kita menganggap anak salah atau nakal, bodoh atau malas, perlu
diketahui dalam perkembangan anak belajar melalui proses:
- trial and error
- menguji batasan yang ditemukan di lingkungan
- proses yang dianggap bentuk prilaku salah contoh : bertengkar
Dengan cara-cara itu anak belajar mengenal dirinya dan dari sudut
pandang orang lain, memecahkan masalah yang dibutuhkan untuk
perkembangan jiwanya.
Yang perlu diingat, sebelum kita terjerumus dalam kekerasan pada anak,
ingatlah bahwa kekerasan pada masa datang dampaknya adalah antara lain:
1. anak tumbuh menjadi tidak percaya diri
2. prestasi cenderung tidak tinggi
3. gangguan prilaku ; externalizing (agresif, pemberontak, pemarah) atau
internalzing ( depresi, pendiam, menutup diri)
4. kurang mampu mengembangkan hubungan dengan pihak otoritas
5. menganggap kekerasan adalah penyelesaian yang harus dilakukan
6. menjadi prilaku kekerasan di kemudian hari
*Bagaimana menegakkan disiplin?***
*Penegakan disiplin menurut perkembangan anak dikenal dengan disiplin
positif . Disiplin positif merupakan proses pembelajaran, dan menekankan
nilai dan sikap damai, toleran, menghormati martabat dan hak asasi
manusia. Jika pun harus memberikan sanksi atas prilaku yang tidak
disiplin, pastikan anda memenuhi prinsip sbb:
1. sanksi berkaitan secara logis dengan prilaku salah
contoh : menumpahkan atau mengotori, sanksi adalah membersihkan
2. sanksi bersifat moderat, tidak perlu berat
3. sanksi bertujuan membantu siswa untuk memahami masalahnya dan
membentuk prilaku yang baik
4. sanksi tidak berlebihan, dari segi frekuensi dan tenggang masa
5. sanksi bersifat konsisten.
Contoh : untuk tindakan yang sama, sanksinya berlaku sama*
**
Tentunya sebelum sanksi ini diterapkan, perlu diingat bahwa prilaku yang
salah yang menjadi focus perhatian, bukan siswa. Selain itu aturan yang
dibuat hendaklah telah disepakati bersama antara guru dan siswa. Aturan
yang dilanggar, ada sanksi yang diberikan yang bersifat edukatif. Jika
dipatuhi, anak mendapat reward gambar bintang. Jika dilanggar, gambar
bintang dikurangi.
Contoh : peraturan yang ditempel di kelas
PERATURAN
1 Tidak mencoret tembok
2 Membuang sampah di tempat sampah
3 Tidak terlambat masuk sekolah
4 Tidak suka mencontek
5 Meminjami alat tulis kepada teman
6 Mengerjakan PR
Keterangan :
1. ikut upacara ; 2 bintang
2. tidak terlambat : 1 bintang
3. mengerjakan PR : 1 bintang
Jika metode ini kurang berhasil, maka ada alternatif lain yakni
konsekuensi logis yaitu ganjaran yang didapat secara wajar akibat
tindakan siswa. Contoh : jika siswa terlambat datang ujian , ia akan
tertinggal dan nilainya kurang baik.Konsekuensi logis berbeda dengan
hukuman, karena tidak ada paksaan sama sekali dan biasanya anak lebih
mudah tergerak untuk tidak mengulangi kesalahannya.
Nah, anda mau pilih yang mana?
Penulis
*Ken Sanjaya* website <http://sanjayafamily.blogspot.com>
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar